Lembaga Staf Kepresidenan yang disejajarkan dengan Kementerian membuat pemerintahan Joko Widodo mengajukan tambahan dana dalam RAPBN.
Demikian disampaikan peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi dalam diskusi publik bertajuk "Pembubaran Unit Staf Kepresidenan Menuju Efektifitas dan Efisiensi Pemerintahan Jokowi-JK" di Menteng, Jakarta, Senin (2/2).
"Karena ada lembaga Staf Khusus Kepresidenan yang dipimpin Luhut Panjaitan, pemerintah menambah alokasi dana dalam RAPBN Rp 29,1 miliar hanya untuk lembaga itu," katanya.
Anggaran tersebut, kata Uchok diolah oleh Kementerian Sekretariat Negara. Soal anggaran, gaji, fasilitas dan tunjangan staf kepresidenan sejajar dengan menteri.
"Jadi Sesneg, Seskab dan lembaga Staf Kepresidenan tumpang tindih," kata Uchok.
Uchok mencurigai lembaga Staf Kepresidenan akan menertibkan komunikasi Presiden Jokowi ke publik. Makanya tak heran jika PDIP saat ini bereaksi keras terhadap lembaga yang dipimpin Luhut Panjaitan tersebut.
"Di zaman SBY, anggaran APBN untuk Sesneg Rp 2,54 triliun, itu termasuk membayar Staf Khusus. Tapi sekarang naik menjadi Rp 2,83 Triliun. Jadi tambahan Rp 29,1 miliar itu khsusus untuk lembaga Staf Kepresidenan. Dalam RAPBN tertulis progam penyelenggaraan pelayanan dukungan kebijakan kepada Presiden dan Wapres," beber Uchok.
Menurut Uchok, jika sudah begini, kewenangan Seskab dan Sesneg sudah dipreteli. DPR harus serius menolak pengajuan kenaikan anggaran ini.
"Kalau diterima, ini berpotensi jadi operasi silent Staf Kepresidenan untuk hal-hal di luar kepentingan rakyat," demikian Uchok.
Relawan Jokowi Protes Luhut PandjaitanSeperti diketahui bahwa baru - baru ini, ada sebuah pernyataan dari pendukung Jokowi yang menuding bahwa Luhut adalah orang yang harus bertanggung jawab atas kisruh KPK - Polri. Tapi nyatanya, Jokowi-lah yang sepertinya menyelesaikan sendiri. Oleh sebab itu, relawan pemenangan Jokowi-JK yang bernama Ahmad Hard itu minta keberadaan sebagai Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan harus di evaluasi, seperti di lansir
Rmol berikut ini.
"Jika tidak bekerja optimal, baiknya keberadaan Kepala Staf Kepresidenan dievaluasi saja," ujarnya.
Menurut aktivis 98 ini akibat konflik antar dua lembaga penegak hukum tersebut pada akhirnya Presiden Jokowi lah yang menjadi sasaran tembak oleh para lawan politiknya dan mendapat persepsi negatif dari masyarakat.
"Buat apa ada Kepala Staf Kepresidenan bila semua masalah akhirnya diselesaikan oleh Presiden," lanjut Hardi. [rmol/pkn]