Pada Kamis kemarin (12/2), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok lagi, menembus Rp 12.800 per US$ 1. Penyebabnya antara lain, ungkap ekonom senior Ichsanudin Noorsy, salah kaprahnya pengelolaan ekonomi negara oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
“Kita sadar betul sejumlah hajat hidup orang banyak tidak kita kuasai. Kita bergantung pada impor yang artinya kita mengimpor inflasi,” kata Ichsanudin Noorsy di Jakarta, Kamis (12/2).
Menurut dia, pemerintah seharusnya mendudukkan sumber daya produksi dan distribusi dalam satu mata rantai yang terstruktur dan rapi. Itu yang sampai sekarang tidak dilakukan oleh pemerintah, termasuk oleh Jokowi-Jusuf Kalla. Bahkan, dalam forum APEC beberapa waktu lalu di Cina, Jokowi yang mengajak negara peserta untuk berinvestasi di Indonesia, yang oleh Ichsanudin Noorsy dinilai sebagai menjual negara.
“Itu bertentangan dengan Trisakti, dengan semangat kejuangan, semangat ekonomi konstitusi, dan bertentangan dengan historis,” ungkapnya.
Ichsanudin Noorsy mengungkapkan, ketika berbicara tentang Trisakti dan revolusi mental, seharusnya dijawab dengan revolusi cara berpikir, cara bertindak, juga cara berproduksi agar tak mengikuti model-model ekonomi neoliberal.
Indonesia sampai saat ini masih belum bergerak dari ketergantungan pada impor. Baik produksi maupun distribusi tak dikuasai sepenuhnya, khususnya indikator gejolak nilai tukar terbesar, yakni sektor energi, sekitar 60% produk minyak.
“Impor terbesar kedua adalah bahan konsumsi. Kementerian Kelautan saja masih belum berani menyatakan kedaulatan garam. Swasembada pangan untuk gula, beras, terigu, dan daging juga masih agak repot kita menyebut posisinya,” ujarnya.
Sementara itu, ketika ditanya kepada Jokowi, apa tanggapannya atas anjloknya nilai rupiah, dia menjawab, butuh waktu untuk memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar.
“Tapi ini kan memerlukan waktu, saya ini baru tiga bulan lebih sedikit, lo,” kata Jokowi pada acara Food Security Summit 2015 di Balai Sidang, Senayan, Jakarta, Kamis. Halo…! [Pam/Pur/pribumisnews/voa-islam]