Situasi politik di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dinilai sudah masuk fase anomali atau tidak normal.. Sebagai parpol pendukung pemerintah, PDI Perjuangan malah terlihat "galak" terhadap Presiden Jokowi.
Galaknya PDIP sudah terlihat jelas sejak Jokowi menaikkan harga BBM, November tahun lalu. Saat itu, beberapa kader banteng bersuara lantang. Di antaranya Rieke Diah Pitaloka, Effendi Simbolon, dan Hendrawan Supratikno. Rieke bahkan menggelar konferensi pers khusus untuk menyatakan penolakan itu.
Di akhir Desember 2014, suara sumbang ketidakpuasan PDIP terhadap kinerja kabinet Jokowi mulai muncul. Jubir PDIP Eva Kusuma Sundari waktu itu meminta Presiden tak ragu memecat menteri yang malas.
Januari lalu, Effendi Simbolon kembali mengkritik Jokowi. Caranya, dengan mengatakan kepada wartawan, gaya memerintah Jokowi mirip seperti LSM karena mayoritas kebijakan dibuat dadakan.
Di Februari ini, kritikan kader PDIP ke Jokowi tidak mereda. Kali ini yang jadi sasaran adalah Seskab Andi Widjajanto, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan. Sejumlah kader Banteng seperti Masinton Pasaribu, dan lagi-lagi Simbolon, menyebut tiga sosok di atas sebagai "trio singa". Mereka menuduh, trio ini selalu menghalang-halangi komunikasi Jokowi dengan PDIP.
Kondisi ini, disebut pengamat politik dari Populi Center, Nico Haryanto, sebagai abnormalitas. Segala hal yang lumrah terjadi pada level eksekutif dan legislatif seolah berbalik 180 derajat tanpa diduga-duga.
"Ini memang terjadi abnormalitas politik, di mana partai-partai pemerintah terlihat 'galak' sekali kepada Presiden. Sementara partai-partai oposisi justru malah lebih 'ramah' dan sangat 'suportif' terhadap apa pun keputusan pemerintah," kata Nico.
Sedangkan peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, menyebut, sikap PDIP sebagai anomali. Dalam pemerintahan sebelumnya, tak ada parpol pendukung yang berani secara terbuka mengkritik presidennya.
"Dulu waktu zaman Gus Dur, Ibu Mega, dan SBY, kita tidak pernah mendengar ada kritik dari parpol pengusungnya. Gus Dur selalu dibela PKB, Mega oleh PDIP, dan SBY dengan Demokratnya," jelas Siti, Sabtu malam (7/2).
Menurut Siti, hal ini bisa jadi terjadi karena Jokowi bukan tokoh sentral di parpolnya. Berbeda dengan Gus Dur, Mega, dan SBY yang merupakan ketua umum dan pemilik parpol masing-masing, sehingga tidak ada kader yang berani mengkritik.
"Pak Jokowi kan baru gabung PDIP saat mencalonkan sebagai walikota Solo. Memang, setelah itu dia dikader, tapi hari per hari, dia kan tidak di partai. Dia tidak pernah menduduki posisi penting di partai," jelas Siti.
Kondisi tersebut membuat Jokowi tidak punya pengaruh besar di parpol. Jadi, sangat memungkinkan ada kader PDIP yang melawan. [rmol]