Analis Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Kusfiardi menilai, semakin ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) menunjukkan bukti bahwa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) tidak berdaya menjaga mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Data
Sindonews bersumber dari
Limas menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap USD pada perdagangan hari ini dibuka ambruk pada level Rp13.064/USD. Posisi itu terdepresiasi 86 poin dibanding hari sebelumnya di level Rp12.978/USD.
"Kelihatan tidak ada daya sudah pemerintah dan otoritas moneter," katanya kepada wartawan di Jakarta, Senin (9/3/2015).
Lebih lanjut dia mengatakan, jika nilai tukar rupiah terhadap USD semakin jauh dari asumsi APBNP 2015 sebesar Rp12.500/USD maka akan sangat berdampak pada keuangan negara, terutama sisi belanja dan pembiayaan terkait cicilan pokok utang jatuh tempo.
"Kedua, pengaruhnya juga terasa pada industri nasional yang bahan bakunya bergantung pada impor. Ketiga, barang konsumsi yang juga impor seperti bahan pangan," terang dia.
Kusfiardi menambahkan, kondisi ini secara akumulatif akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian nasional. Selama ini, instrumen pengendali melemahnya nilai tukar rupiah hanyalah tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dan operasi pasar (OP) BI.
Namun pelepasan USD oleh BI akan berdampak pada kurangnya ketersediaan USD untuk impor. "BI memang bisa andalkan cadangan devisa. Tapi di sisi lain, berisiko tergerusnya ketersediaan cadangan devisa untuk kebutuhan impor dan bayar utang jatuh tempo," imbuhnya.
Dia menuturkan, jika BI kemudian mengerek BI rate untuk menahan terkaparnya rupiah maka akan berdampak pada semakin mahalnya biaya bunga pinjaman untuk modal kerja dunia usaha dan industri nasional. Pada akhirnya, swasta pun justru akan semakin intensif mencari pinjaman ke luar negeri yang biayanya lebih murah.
"Otoritas fiskal dan moneter tidak bisa ngapa-ngapain karena terpenjara rezim devisa bebas dan nilai tukar bebas mengambang. Kedua, kebijakan itu jadi surga bagi spekulan untuk terus menggoyang nilai rupiah demi keuntungan mereka. Bahkan bisa saja dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan," tandas Kusfiardi.
Masih dari
Sindonews, sekadar informasi, nilai tukar rupiah terhadap USD yang menembus level Rp13.000/USD merupakan rekor terburuk sejak perdagangan 1998, yang saat itu mencapai level Rp17.000/USD. [sal]