Menangis memang merupakan bagian dari hidup kita. Semua orang pasti mengalaminya. Namun ternyata Rasulullah saw punya perhatian khusus terhadap perkara ini. Bahkan menangis ini bisa menjadi juru selamat kita di pengadilan hari akhir kelak.
Dari Atha’ Al-Khurasani dari Atha’ bin Abi Rabah dari Ibnu Abbas berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Ada dua mata yang tidak disentuh oleh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga-jaga (ribath) fii sabilillah.” (HR At-Tirmidzi).
Ketika Rasulullah saw menyampaikan hal ini kepada para sahabatnya, maka perilaku mereka pun berubah. Bertambah khusyu’, bertambah dekat mereka kepada Allah swt. Ali ra pernah menggambarkan kehidupan para sahabat Nabi dengan penuturannya, “Pagi hari wajah mereka pucat, kedua matanya sembab berkaca-kaca, mereka bersujud dan berdiri membaca kitabullah di malam harinya, sedangkan hujan tangis mengalir dari kedua matanya, mereka berdzikir kepada Rabbnya, terhuyung bagai pohon tertiup angin…” Begitulah penuturan Ali ra. tentang gambaran umum para sahabat Nabi yang mulia.
Seiring dengan perubahan zaman, kini wajah pucat itu berubah menjadi ceria tak merasa dosa, tangisan itu sirna berganti canda dan gelak tawa, sujudpun berganti jogetan erotis pembangkit nafsu birahi, sedangkan tilawah Al-Qur’an hilang ditukar nyanyian cabul yang tiada guna.
Itulah pemandangan yang memenuhi ruang dan waktu kita, hingga membuat tumpulnya rasa, butanya hati dan lenyapnya kepekaan jiwa terhadap dosa dan siksa neraka. Tersirat pada wajah-wajah mereka keangkuhan seakan hidup selamanya, tak sadar bahwa kematian datang dengan tiba-tiba. Kita mungkin lupa ketika Nabi melihat para sahabat sedang bercanda ria meski tak semeriah dan seheboh canda kita, Nabi menghampiri mereka sembari bersabda,”Seandainya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR Al-Bukhari)
Hadits diatas menyebutkan tentang fadhilah menangis karena takut kepada Allah dan berjaga-jaga di jalan Allah. Maksud dari “dua mata”, ini adalah penyebutan sebagian namun yang dituju adalah seluruhnya. Artinya, bukan hanya mata yang tidak disentuh api neraka, namun juga seluruh anggota badannya. Penggunaan kalimat semacam ini masyhur dikenal dalam bahasa Arab, begitu juga dalam bahasa Indonesia. Hal itu dikuatkan oleh sebuah hadits, “Tidak akan disentuh api neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah.” (HR Tirmidzi)
Allah menyebutkan ciri-ciri hamba-Nya yang diberi petunjuk dan dipilih dengan firman-Nya, “Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS Maryam 58)
Tidak setiap mata yang menangis mendapat keutamaan. Tangisan mulia itu bukanlah muncul dari hati yang sedih karena kehilangan harta benda, bukan pula karena ditinggal keluarga yang dicinta, atau karena menyesali nasibnya di dunia yang selalu menderita. Namun tangisan yang semata-mata disebabkan rasa takutnya kepada Allah tatkala berdzikir dan mengingat-Nya. Orang yang mampu merealisasikannya bukan sekedar selamat dari neraka, namun juga mendapat naungan dari Allah di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, Nabi saw bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah…dan seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam kesepian hingga menetes air matanya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dia berdzikir kepada Allah, mengingat dengan hatinya dan menyebut dengan lisannya.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa tangisan yang menyelamatkan tersebut didorong karena rasa khasy-yah kepada Allah. Kalimat tersebut menggunakan kata khasy-yah dan bukan khauf, kendati seringkali diterjemahkan sama yakni takut. Namun sebenarnya ada perbedaan antara “khasy-yah” dan “khauf.” Karena khasy-yah adalah rasa takut yang di dasari pengetahuan dan ilmu terhadap sesuatu yang ditakuti.
Maknanya, tangisan yang muncul karena khasy-yah kepada Allah tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memahami siapakah Allah sehingga dia takut kepada-Nya, sekeras apa siksa-Nya. Oleh karena itu, rasa khasy-yah itu tidak dimiliki kecuali oleh orang yang berilmu. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya yang takut (khasy-yah) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (orang yang berilmu).” (QS Fathir 28)
Karena manusia yang paling berilmu tentang Allah adalah Rasulullah, maka manusia yang paling besar khasy-yah nya kepada Allah adalah beliau. Ketika ada beberapa sahabat yang kelewat batas dalam beribadah melebihi apa yang dikerjakan oleh Nabi, beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya akula yang paling mengetahui tentang Allah dan yang paling besar khasy-yah (takut)nya kepada Allah.” (HR Al-Bukhari)
Menangis karena takut kepada Allah memiliki fadhilah besar karena menimbulkan efek yang luar biasa. Seseorang yang takut akan siksa Allah, niscaya dia akan bergegas menunaikan perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya. Karena meninggalkan perintah dan melanggar larangan akan mengundang kemurkaan dan siksa-Nya. Inilah orang yang betul-betul takut kepada Allah. Bahkan rasa takutnya menjadikan dia khawatir terhadap kekurangan-kekurangan amalnya, selalu intropeksi, peka terhadap kesalahan-kesalahan, mengakui dosa-dosanya tatkala terlanjur terjerumus ke dalamnya, lalu memohon ampunan-Nya. Bayang-bayang siksa dan murka-Nya senantiasa terbayang di pelupuk mata. Seperti yang digambarkan oleh Amir bin Abdillah rahimahullah, “Aku heran dengan jannah, bagaimana orang bisa tidur lelap padahal dia sedang mengejarnya, dan aku heran dengan neraka, bagaimana orang tidur nyenyak padahal ingin lari darinya. Ingat siksa neraka membuatku sulit tidur.”
Rasa takut inilah yang menimbulkan tangis yang benar. Jika mudah bagi kita meneteskan air mata namun juga akrab dengan dosa-dosa, hendaknya kita intropeksi benarkan tangisan kita karena takut kepada-Nya. Sebaliknya, jika mengaku takut kepada Allah, mengapa mata senantiasa kering dari tangisan? [suarajkt]