Rontoknya nilai tukar rupiah hingga melewati kisaran Rp 13 ribu per dolar AS bukan disebabkan oleh keadaan ekonomi nasional yang saat ini dipimpin Presiden Jokowi. Tidaklah mungkin kejatuhan rupiah terjadi begitu saja tanpa sebuah hasil kerja ekonomi nasional yang terjadi dari masa lalu.
Demikian diungkapkan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono, yang juga ketua DPP Partai Gerindra ini dalam keterangannya, Jumat (13/3).
Jelas dia, perlu dicatat bahwa hutang luar negeri melesat hingga kisaran Rp 2700 triliun itu terjadi pada era SBY. Ini terjadi karena banyaknya surat utang negara (SUN) dan obligasi pemerintah yang dijual murah-murah dengan bunga tinggi, karena adanya mafia fee SUN dan obligasi di era itu.
Menurut Arief Poyuono, hubungan antara hutang luar negeri dan nilai kurs mata uang suatu negara sangatlah kuat hubungannya untuk kejatuhan nilai kurs mata uang negara penghutang.
Pengunaan hasil SUN dan obligasi di era SBY tidak digunakan secara baik, hanya untuk bancaan para koruptor melalui proyek-proyek infrakstrutur dan menyuburkan mafia impor minyak.
"Hari ini Jokowi telah diwarisi kehancuran ekonomi oleh SBY dengan tandai beras mahal, gas elpiji langkah dan mahal, nilai kurs rupiah jeblok dan hutang negara bertumpuk. Hal ini makin jelas ketika laporan BPK bahwa banyak penyelewengan APBN di era SBY dan para koruptor APBN dan APBD yang tinggal tunggu dieksekusi," ujar Arief Poyuono.
Harga beras mahal hari ini, lanjut dia, juga akibat kegagalan SBY selama 10 tahun menjadikan negara yang berswasembada pangan. Bukan karena Jokowi yang tidak bisa memanage kebutuhan pangan nasional, sehingga Indonesia yang terkenal negara agraris justru menjadi negara pengimpor pangan terbesar di Asia yang menambah beban makin terperosoknya nilai kurs rupiah.
"Lalu selama SBY berkuasa semua anggaran yang diarahkan untuk program perbaikan infrastruktur pertanian untuk menuju swasembada pangan kemana saja? ujar Arief Poyuono bertanya.
Karena itu, sambung dua, sangat naif kalau Jokowi effect akan memberikan perbaikan ekonomi dan penguatan rupiah dalam waktu singkat. Apalagi saat Jokowi memimpin keadaan ekonomi Amerika serikat sedang bagus-bagusnya setelah krisis tahun 2008, dan ditambah apalagi tim ekonomi Jokowi masih belum kelasnya dan pengalaman yang cukup untuk menanggani keadaan ekonomi nasional yang hampir hancur oleh SBY.
Karena itu Jokowi harus lebih kerja keras dan mulai berani untuk melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap semua transaksi ekspor dan impor, serta hutang luar negeri swasta dan mengunci capital outflow dana asing dengan kebijakan yang tepat. Serta memberikan kemudahan bagi industri yang berbahan baku lokal untuk lebih berkembang dengan pajak khusus dan kemudahan ekspor.
"Jatuhnya nilai kurs rupiah juga tidak lepas dari peran BI yang berperan sebagai pemain vallas bukan berfungsi sebagai pengendali moneter," demikian Arief Poyuono. [rmol]